WEBINAR “KAMI, Perempuan Menolak Dilecehkan!”

Jumat, 22 April 2022 Kelompok Studi Audit bekerja sama dengan bersama beberapa LK/KS di UKDW menyelenggarakan kegiatan webinar dengan tema “Kami, Perempuan Menolak Dilecehkan!”. Kegiatan ini dilaksanakan karena melihat banyaknya kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) dan juga melihat pentingnya kesadaran akan hak yang harus disadari dan diperjuangkan, serta ruang aman bagi perempuan untuk berani bersuara atas kekerasan dan pelecehan seksual. Tujuan dari kegiatan ini adalah meningkatkan kesadaran masyarakat dan mahasiswa dalam kasus pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia, mendorong korban pelecehan seksual untuk berani memperjuangkan haknya, serta mengajak para Mahasiswi dan masyarakat untuk berani berbicara dan melaporkan kasus yang terjadi. Webinar ini dibuka secara umum dengan pemateri yaitu Ibu Sukiratnasari selaku Advokat di kantor SCW & partners dan Ibu Indiah Wahyu A selaku Manager Program Pendampingan di Rifka Annisa Women’s Crisis Center.

Webinar ini dibuka dengan presentasi dari Ibu Indiah, beliau menyampaikan bahwa berbicara mengenai kekerasan terhadap perempuan dan anak, ada hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu adanya penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang disebabkan oleh ketimpangan relasi, seperti usia, jabatan, kedudukan, dan lain-lain. Secara dinamika psikologi, korban yang mengalami kekerasan dan pelecehan seksual sering kali merasa tidak dipercaya dan didengar, sehingga menimbulkan penurunan harga diri, konsep diri, dan percaya diri. Hal ini membuat korban menarik diri dari lingkungan, korban merasa tidak aman dan tidak percaya.

Saat ini Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) setiap tahunnya terus meningkat. Ibu Indiah menyarankan beberapa hal yang dapat dilakukan korban yaitu mendokumentasikan bukti, seperti screenshot percakapan, kemudian membuat kronologi peristiwa, membatasi komunikasi atau blokir pelaku, memetakan risiko, melaporkan ke platform digital, serta mencari bantuan pendampingan dari teman, keluarga atau lembaga. Disisi lain, jika mengalami kekerasan secara langsung (offline), korban bisa melakukan beberapa hal, seperti korban menyimpan barang yang berhubungan dengan peristiwa (jika kejadian belum lama terjadi), lalu segera pergi ke Rumah Sakit/Dokter, serta menghubungi lembaga layanan untuk mendapatkan pendampingan psikologis dan hukum. Kemudian, jika kita menemukan korban, kita dapat membantu korban sebagai pendengar yang baik dan tidak melakukan judgment, lalu mendiskusikan dengan korban mengenai rencana, keputusan dan tindakan yang akan diambil, memberikan informasi sebanyak-banyaknya untuk alternatif tindakan dan jika diperlukan, mencari bantuan dengan menghubungkan korban kepada keluarga atau lembaga layanan.

Setelah Ibu Indiah selesai memaparkan materi, pemaparan materi webinar ini selanjutnya di bawakan oleh Ibu Sukiratnasari,S.H.,M.H selaku Advokat di Kantor SCW & Partners, dan juga konsultan hukum. Beliau menyampaikan dalam UU TPKS Pasal 1 ayat 1. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang, atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas. Ada 9 bentuk kekerasan seksual (KS) di UU TPKS, yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan/atau penyiksaan seksual.

Ibu Sukiratnasari juga mengatakan, bahwa pelecehan seksual tidak hanya dengan menyentuh fisik seseorang, melainkan dengan melihat seseorang terlalu lama saja dan tidak menjaga ucapan yang membuat orang lain tersinggung, itu merupakan wujud pelecehan seksual. Kekerasan seksual ini memiliki beberapa modus, seperti modus konvensional dimana korban dan pelaku itu harus bertemu secara langsung, modus agama/mistis kekerasan seksual ini biasanya terjadi di pondok pesantren dan  institusi-institusi keagamaan, modus ekonomi, budaya dan politik, serta terakhir adalah modus yang berbasis online.

Dalam menutup materinya, Ibu Sukiratnasari memberikan beberapa saran terkait dengan kasus kekerasan seksual, yaitu otoritas kampus lebih berani bertindak atas nama value pendidikan yang lebih “beyond the law”, kemudian pencegahan, penanganan, perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak korban lebih diutamakan, berperspektif korban dalam menyikapi kasus kekerasan seksual, adanya supporting group untuk korban, peraturan dan mekanisme internal kampus yang berperspektif gender dalam pencegahan, penanganan, perlindungan dan pemulihan kekerasan seksual di kampus, lalu adanya pelaksana peraturan yang dapat bertindak independen bebas dari hegemoni kampus yang berlandaskan kebenaran dan keadilan, kemudian kampanye isu kekerasan yang memberikan perlindungan terhadap privasi korban, serta implementasi dari UU TPKS.

Pada sesi akhir, kegiatan ini ditutup dengan sesi pertanyaan. Secara keseluruhan kegiatan webinar ini berjalan dengan lancar hingga tahap akhir. Kelompok Studi Audit berharap dapat terus menyelenggarakan acara yang memberi manfaat bagi seluruh kalangan masyarakat.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top
X